SUKU
BETAWI
Suku
Betawi
adalah sebuah suku bangsa di Indonesia
yang penduduknya umumnya bertempat tinggal di Jakarta.
Sejumlah
pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis
dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang
Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang
didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku
Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir
dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Tionghoa.
Namun
pihak lain berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin
antaretnis dan bangsa pada masa lalu ternyata tidak sepenuhnya benar karena
eksistensi suku Betawi menurut sejarawan Sagiman MD telah ada serta mendiami
Jakarta dan sekitarnya sejak zaman batu baru atau pada zaman Neoliticum,
penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa,
dan Madura.[1] Pendapat Sagiman MD
tersebut senada dengan Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya
"Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan
Pajajaran (1977)" mengungkapkan bahwa Penduduk Asli Jakarta telah ada pada
sekitar tahun 3500 - 3000 sebelum masehi.
Namun
menurut sebagian Peneliti yang sepaham dengan Lance Castles yang pernah
meneliti tentang Penduduk Jakarta dimana Jurnal Penelitiannya diterbitkan tahun
1967 oleh Cornell University dikatakan bahwa secara biologis, mereka yang
mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku
dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda
ke Batavia. Kelompok etnis ini
lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup
di Jakarta, seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Makassar,dan Ambon, serta suku-suku
pendatang, seperti Arab,
India, Tionghoa, dan Eropa.
Pada
penelitiannya Lance Castles menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yaitu:
- Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
- Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
- Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
- Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Dimana
semua sketsa sejarahanya dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke 17),
sketsa inilah yang oleh sebagian ahli lainnya dirasakan kurang lengkap untuk
menjelaskan asal mula Suku Betawi dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa yang ada
pada abad ke 15 (tahun 1400-an Masehi) sudah ditemukan kata "Negeri
Betawi". Suku Betawi secara geografis terletak di pulau Jawa, namun secara
sosiokultural lebih dekat pada budaya Melayu Islam.
Etimologi Betawi
Kata
Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Mengenai asal mula kata
Betawi, menurut para ahli dan sejarahwan ada beberapa acuannya:
- Pitawi (bahasa Melayu Polynesia Purba) yang artinya larangan. Perkataan ini mengacu pada komplek bangunan yang dihormati di Batu Jaya. Sejarahwan Ridwan Saidi mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan di Batu Jaya, Karawang merupakan sebuah Kota Suci yang tertutup, sementara Karawang, merupakan Kota yang terbuka.
- Betawi (Bahasa Melayu Brunei) di mana kata "Betawi" digunakan untuk menyebut giwang. Nama ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi, yang banyak ditemukan giwang dari abad ke-11 M.
- Flora guling Betawi (cassia glauca), famili papilionaceae yang merupakan jenis tanaman perdu yang kayunya bulat seperti guling dan mudah diraut serta kokoh. Dahulu kala jenis batang pohon Betawi banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata keris atau gagang pisau. Tanaman guling Betawi banyak tumbuh di Nusa Kelapa dan beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. Sementara di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, guling Betawi disebut Kayu Bekawi. Ada perbedaan pengucapan kata "Betawi" dan "Bekawi" pada penggunaan kosakata "k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, pergeseran huruf tersebut biasa terjadi dalam bahasa Melayu.
Kemungkinan
nama Betawi yang berasal dari jenis tanaman pepohonan ada kemungkinan benar.
Menurut Sejarahwan Ridwan Saidi Pasalnya, beberapa nama jenis flora selama ini
memang digunakan pada pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta,
seperti Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dan banyak lagi. "Seperti Kecamatan
Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar, melainkan diambil
dari jenis rerumputan"
Sehinga
Kata "Betawi" bukanlah berasal dari kata "Batavia" (nama lama
kota Jakarta pada masa Hindia Belanda),
dikarenakan nama Batavia lebih merujuk kepada wilayah asal nenek moyang orang
Belanda.
“Batavia
is the Latin name for the land of the Batavians during Roman times. This was
roughly the area around the city of Nijmegen, Netherlands, within the Roman
Empire. The remainder of this land is nowadays known as Betuwe. During the
Renaissance, Dutch historians tried to promote these Batavians to the status
of "forefathers" of the Dutch people. They started to call themselves
Batavians, later resulting in the Batavian Republic, and took the name
"Batavia" to their colonies such as the Dutch East Indies, where
they renamed the city of Jayakarta to become Batavia from 1619 until about
1942, when its name was changed to Djakarta (this is the short for the former
name Jayakarta, later respelt Jakarta; see: History of Jakarta). The name was
also used in Suriname, where they founded Batavia, Suriname, and in the
United States where they founded the city and the town of Batavia, New York. This
name spread further west in the United States to such places as Batavia,
Illinois, near Chicago, and Batavia, Ohio.”.
|
Batavia
merupakan nama Latin untuk tanah Batavia pada zaman Romawi. Perkiraan kasarnya
berada sekitar kota Nijmegen, Belanda, dalam Kekaisaran Romawi. Sisa lahan ini
kini dikenal sebagai Betuwe. Selama Renaisans, sejarawan Belanda mencoba untuk
mempromosikan Batavia menjadi sebuah status "nenek moyang" dari
orang-orang Belanda. Kemudian mereka mulai menyebut diri Orang-orang atau penduduk
Batavia, kemudian hal tersebut mengakibatkan munculnya Republik Batavia, dan
mengambil nama "Batavia" untuk koloni mereka seperti Hindia Belanda,
dimana mereka mengganti nama menjadi dari Kota Jayakarta menjadi Batavia dari
1619 sampai sekitar 1942, ketika namanya diubah menjadi Djakarta (ini adalah
kependekan dari nama mantan Jayakarta, kemudian diubah kembali ejaannya menjadi
Jakarta). Nama itu (Batavia) juga digunakan di Suriname, di mana mereka
mendirikan Batavia,
Suriname, dan di Amerika Serikat di mana mereka mendirikan kota dan
kota Batavia, New York. Nama ini menyebar lebih jauh ke barat di Amerika
Serikat untuk tempat-tempat seperti Batavia, Illinois, dekat Chicago, dan
Batavia, Ohio.
Kemudian
penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku yang pada masa hindia belanda,
diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama Pemoeda
Kaoem Betawi yang lahir pada tahun 1923.[4]
Sejarah
Berikut
merupakan pemaparan para ahli tentang sejarah betawi.
Periode Sebelum Masehi
Sejarah
Betawi diawali pada masa zaman batu yang menurut Sejarawan Sagiman MD sudah ada
sejak zaman neolitikum. Sementara Yahya Andi Saputra (Alumni Fakultas Sejarah
UI), berpendapat bahwa penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa.
Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa Jawa merupakan satu kesatuan budaya.
Bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan mereka sama. Dia menyebutkan berbagai
sebab yang kemudian menjadikan mereka sebagai suku bangsa sendiri-sendiri.
- Pertama, munculnya kerajaan-kerajaan pada zaman sejarah.
- Kedua, kedatangan dan pengaruh penduduk dari luar Nusa Jawa.
- Terakhir, perkembangan kemajuan ekonomi daerah masing-masing.
Penduduk
asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno). Di antara penduduk juga mengenal huruf
hanacaraka (abjad bahasa Jawa dan Sunda). Jadi, penduduk asli Betawi telah
berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu.[5]
Periode Setelah Masehi
Periode Awal
Abad ke-2
Pada
abad ke-2, Menurtut Yahya Andi Saputra Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah
kekuasaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor.
Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu
perdagangan dengan Cina telah maju. Bahkan, pada tahun 432 Salakanagara telah
mengirim utusan dagang ke Cina.
Abad ke-5
Pada
akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum.
Menurut Yahya, ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan
Salakanagara. Hanya saja ibukota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke
tepi kali Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara.
Tepatnya letak ibukota kerajaan di tepi sungai Candrabagha, yang oleh
Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi. Candra berarti bulan atau
sasi, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah
timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak
istana kerajaan Tarumanengara yang termashur itu. Raja Hindu ini ternyata
seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan
Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap.
Pada zaman Tarumagara kesenian mulai berkembang. Petani Betawi membuat orang
-orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan
bertopi, yang hingga kini ma sih dapat kita saksikan di sawah-sawah menjelang
panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil mengge rak-gerakkan tangan
orang-orangan sawah itu. Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena
diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah
dewi kemakmuran. Pendu duk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk
menyatakan merdeka punya kagoembiraan. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan
gamelan. Nelayan juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan
rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara
nyadran. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan
ke laut.
Abad ke-7
Pada
abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama
Budha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera.
Mereka mendirikan pemukiman di pesisir Jakarta. Kemudian bahasa Melayu
menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan
terjadinya perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa
Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja. Kemudian meluas sehingga
ke daerah kaki Gunung Salak dan Gu nung Gede. Bagi masyarakat Betawi keluarga
punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga
wajib menjunjung tinggi martabat keluarga. Dalam keluarga Betawi ayah disebut
baba. Tetapi ada juga yang menyebutnya babe, mba, abi atau abah — pengaruh para
pendatang dari Hadra maut. Ibu disebut mak. Tetapi tidak kurang banyaknya yang
menyebut umi atau enya' dari kata nyonya.
Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak bontot.
Abad ke-10
Pada
sekitar abad ke-10. Saat terjadi persaingan antara orang Melayu yaitu Kerajaan
Sriwijaya dengan wong Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini
kemudian menjadi perang dan membawa Cina ikut campur sebagai penengah karena
perniagaan mereka terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua,
sebelah Barat mulai dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai
dari Kediri dikendalikan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali
Sriwijaya.
Sriwijaya
kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu
mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata
Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan
bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di
Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya – karena gelombang imigrasi itu lebih
besar ketimbang pemukin awal – bahasa Melayu yang mereka bawa mengalahkan
bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa. Sejarahwan Ridwan
Saidi mencontohkan, orang “pulo”, yaitu orang yang berdiam di Kepulauan Seribu,
menyebut musim di mana angin bertiup sangat kencang dan membahayakan nelayan
dengan “musim barat” (bahasa Melayu), bukan “musim kulon” (bahasa Sunda),
orang-orang di desa pinggiran Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang
hilir” (bahasa Melayu Kalimantan bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan
“orang kota”.
Periode Kolonialisasi Eropa
Abad ke-16
Perjanjian
antara Surawisesa (raja Kerajaan Pajajaran) dengan bangsa Portugis pada tahun
1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa
mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis
yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik
Keroncong atau dikenal sebagai Keroncong Tugu.
Setelah
VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan
niaganya, Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian
dan membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak
dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik
perbudakan.[6] Itulah penyebab masih
tersisanya kosa kata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan
perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga
Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa
pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak
dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga
menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia,
Kampung Melayu, Kampung
Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara
Jl. Mangga Dua di daerah kampung
Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat
beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
Abad ke-20
Pada
April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, Lance
Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal usul orang Betawi. Hasil penelitian
yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi
terbentuk pada sekitar pertengahan abad 19 sebagai hasil proses peleburan dari
berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.
Secara
singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri
dari:
- Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
- Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
- Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
- Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Oleh
karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya
dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di
Jakarta sejak awal abad 19 hingga awal abad 20. Sebagai hasil rekonstruksi,
angka-angka tersebut mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun
menurut Castles hanya itulah data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan
walaupun hasil kajian yang dilakukan Lance Castles mendapatkan banyak kritikan
karena hanya menitikberatkan kepada skesta sejarah yang baru ditulis tahun
1673.
Mengikuti
kajian Lance Castles antropolog Universitas
Indonesia, Dr.
Yasmine Zaki Shahab, M.A. memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk
sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi
sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman
kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan
bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan
etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil sensus
tahun 1893 menunjukkan hilangnya
sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Melayu, orang Bali, Jawa,
Sunda, orang Sulawesi
Selatan, orang Sumbawa,
orang Ambon dan Banda. Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara
dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (bahasa Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam
kelompok etnis Betawi.
Sepuluh
tahun setelah pengumuman hasil penelitian Lance Castles yakni pada tahun 1977
arkeolog Uka Tjandarasasmita mengemukakan monografinya "Jakarta Raya dan
Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)". Uka
memang tidak menyebut monografinya untuk menangkis tesis Castles, tetapi secara
arkeologis telah memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah tentang sejarah
penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara pada abad 5.
Dikemukakan
bahwa paling tidak sejak zaman neolitikhum atau batu baru (3500 – 3000 tahun
yang lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya dimana terdapat aliran-aliran sungai
besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat
tertentu sudah didiami oleh masyarakat manusia. Beberapa tempat yang diyakini
itu berpenghuni manusia itu antara lain Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon
Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet,
Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete,
Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi
menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta.
Dari
alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat,
pacul yang sudah diumpam halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa
masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan)
dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan
yang teratur.
Suku Betawi
Pada
zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori
orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori
baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953
jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Namun
menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000
tahun sebelum masehi.
Antropolog Universitas
Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan
menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis
itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut
diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan
terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan
sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul
pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh
masyarakat Betawi mendirikan Pemoeda
Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar
mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Dr.
Yasmine Zaki Shahab, M.A. berpendapat bahwa hingga beberapa waktu
yang lalu penduduk asli Jakarta mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Melayu atau menurut lokasi tempat
tinggal mereka, seperti orang Kwintang; orang Kemayoran; orang Tanahabang dan
seterusnya. Setelah tahun 1970-an yang merupakan titik balik kebangkitan
kebetawian di Jakarta telah terjadi pergeseran lebel dari Melayu ke Betawi.
Orang yang dulu menyebut kelompoknya sebagai Melayu telah menyebut dirinya
sebagai orang Betawi.
Ada
juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat
campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup
penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi.
Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu yang umum
digunakan di Sumatera, Kalimantan, Semenanjung
Malaka, Brunei dan Thailand Selatan yang
kemudian dijadikan sebagai bahasa Indonesia.
Setelah kemerdekaan
Sejak
akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran
dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga —
tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9
persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin
terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta.
Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di
Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah
salah satu caranya ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.
Seni
dan kebudayaan
Seni
dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan
arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan,
Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi
juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam
etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo . Sejak zaman
dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan
"Kalapa" (sekarang Jakarta)
merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara,
Percampuran budaya juga datang pada masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu
Surawisesa dimana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal dan
dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan Portugal inilah lahir
Keroncong Tugu.
Suku-suku
yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk
Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku
Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk
pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di
provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan
oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan
budaya Betawi, didirikanlah cagar
budaya di Situ
Babakan.
Bahasa
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Bahasa Betawi
Sifat
campur-aduk dalam bahasa Betawi atau Melayu
Dialek Jakarta atau Melayu Batavia adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara
umum, yang merupakan hasil dari asimilasi kebudayaan, baik yang berasal dari
daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Peta
Linguistik daerah Jakarta dan sekitarnya
Ada
juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar
"Kalapa" (sekarang Jakarta)
juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah,
Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan
ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran
kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya
berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah
menggunakan bahasa
Melayu, bahkan ada juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku
Sunda yang mendiami wilayah inipun juga ikut menggunakan Bahasa Melayu yang
umum digunakan di Sumatera dan Kalimantan Barat,
penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah
Melayu lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra
ketika dimintai tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut
sebelah barat Sungai Cimanuk sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya - Kediri
yang dimediasi oleh China yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena
perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda diwilayah
lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda
menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda
dengan etnis Sunda dan menyebutnya
sebagai etnis Betawi. Walau demikian,
masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata
Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan
kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain
yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[8]
yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun
bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa
informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi
atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek
Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir
adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap
sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota
Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar,
Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di
Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan,
Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga
Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani
dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan
Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra
dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa''
(mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan
Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati
dalam cara baca mengaji Al Quran.
Musik
Dalam
bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang
berasal dari seni musik Tionghoa,
tetapi juga ada Rebana yang berakar pada
tradisi musik Arab,
orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar
belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang
berlatarbelakang ke-Belanda-an.
Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga
memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".
Tari
Seni
tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang
ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek, tari silat dan lain-lain. Pada awalnya,
seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong
dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun
Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul
seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
Drama
Drama
tradisional Betawi antara lain Lenong
dan Tonil. Pementasan lakon
tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi,
dengan diselingi lagu, pantun,
lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung
dengan penonton.
Cerita rakyat
Cerita
rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal
seperti Si Pitung, juga dikenal
cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si
jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun
kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau
pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang
menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah
dari Marunda, Murtado
Macan Kemayoran, Juragan
Boing dan yang lainnya.
Senjata tradisional
Senjata
khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan dari kayu.
Rumah tradisional
Rumah
tradisional/adat Betawi adalah rumah kebaya
Kepercayaan
Kuatnya
pengaruh Melayu pada orang Betawi Kota tampak pada salah satu ciri khas Betawi
Kota yang juga merupakan ciri khas Melayu adalah agama Islam, dimana Islam mewarnai kehidupan mereka
seperti tampak dalam kutipan-kutipan berikut ini.
"Kuatnya
orientasi Islam dalam kehidupan sehari-hari anak Betawi ini merupakan salah
satu faktor yang menghambat pendidikan mereka. Sekolah dilihat sebagai agaya
hidup orang Kristen (Belanda) atau orang Cina, yang keduanya tidak disenangi
orang Betawi. Disamping itu guru mengaji mereka juga telah mendorong mereka
untuk masuk sekolah agama dan tidak masuk ke sekolah Kristen" (Koentjaraningrat,
1975: 4-5).
"the
orang Betawi were devout and orthodox Muslims poverty and lack of education,
have always placed the orang Betawi at a disadvantage" (Abeasekere, 1985:
21).
"The
Betawi were strongly Islamic, as can be seen in their customary law probably
because of strongly Islamic influence, women held a subordinate role in society
although in many other ethnic Indonesian groups, women (sic) status equalled or
surpassed men’s. Girls were given Arabic names" (Tilden, 1985:35).
Tetapi
ada juga yang menganut agama Kristen;
Protestan dan Katolik juga ada namun
hanya sangat sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada
yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal
dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar
karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Pajajaran mengadakan perjanjian
dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di
pelabuhan Sunda Kalapa
sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini
sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
Profesi
Di Jakarta, orang Betawi
sekarang sebagai hasil asimilasi antar suku bangsa, sebelum era pembangunan
orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka
masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak
dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan
secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi,
K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum
betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung
yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi
perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek,
jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung
dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran
sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak
diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap
dilakoni.
Warga
Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu
program Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus
ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan
kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena salah
satu asal-muasal berkembangnya suku Betawi adalah dari asimilasi (orang
Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi
masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang etnis dan bauran etnis dasar
masing-masing.
Perilaku dan sifatnya panji
Asumsi
kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam
segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi
yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi
Bowo Gubernur DKI Jakarta (2007 - 2012) .
Ada
beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat
tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan
cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang
tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada
anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat
dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar
Jakarta.
Orang
Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku
kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan
dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa
kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca:
Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang
yang justru akan menopang modernisasi tersebut.
Tokoh Betawi
Benyamin Sueb, seniman
Betawi legendaris.
- Alika - penyanyi, anggota girlband Princess
- Alya Rohali - artis, mantan Putri Indonesia
- Benyamin Sueb - artis
- Bokir - seniman lenong
- Deddy Mizwar - aktor, sutradara, tokoh perfilman
- Firman Muntaco - sastrawan
- Hassan Wirajuda - mantan menteri luar negeri
- Ismail Marzuki - pahlawan nasional, seniman
- Dewi Rezer - artis
- Mandra - artis
- Mastur - artis
- Mat Solar - artis
- Dewi Sandra - artis, penyanyi
- Muhammad Husni Thamrin - pahlawan nasional
- Nasir - seniman lenong
- Nawi Ismail - sutradara, tokoh perfilman
- Noer Alie - pahlawan nasional, ulama
- Omaswati - artis
- Ridwan Saidi - budayawan, politisi
- SM Ardan - sastrawan
- Surya Saputra - aktor, penyanyi
- Suryadharma Ali - Menteri Agama
- Tuty Alawiyah - mubalighat, tokoh pendidik, mantan menteri
- Ussy Sulistyowati - artis
- Zainuddin MZ - ulama
- Bachtiar Jamaluddin - Abang Jakarta
Makanan Khas Betawi
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Masakan Betawi
Masakan
Masakan
khas Betawi antara lain gabus
pucung, laksa
betawi. sayur
babanci, sayur godog,
soto betawi, ayam sampyok, asinan betawi, dan nasi uduk.
Kue-kue
Kue-kue
khas Betawi misalnya kue cucur, kue rangi, kue talam, kue kelen, kue kembang goyang, kerak telor, sengkulun, putu mayang, andepite, kue ape, kue cente manis, kue pepe, kue dongkal, kue cincin, kue geplak, dodol betawi, dan roti buaya.
Minuman
Minuman
Khas Betawi contohnya adalah es
selendang mayang, es goyang,
dan bir pletok.
sippp
BalasHapus